8. Dapat mengetahui dan memahami tentang hak perlindungan anak.
Mengetahui dan memahami tentang hak perlindungan
anak
Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan pemenuhan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi.
Hak Anak
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang
wajib dimajukan, dilindungi, dipenuhi, dan dijamin oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah, dan negara.
Pengarusutamaan Hak Anak
Pengarusutamaan Hak Anak yang selanjutnya disebut
PUHA adalah strategi perlindungan anak dengan mengintegrasikan hak anak ke
dalam setiap kegiatan pembangunan yang sejak penyusunan perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai peraturan
perundangan-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan dengan menerapkan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
''Tabungan masa depan bangsa bukanlah uang
melainkan generasi muda yang sehat,' Petikan kata mutiara ini sungguh dahsyat jika
dijadikan inspirasi untuk menggerakkan animo kesadaran kita, utamanya dalam
kontek meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan anak yang dalam struktur
sosial nada-nadanya mengalami ketidakberimbangan, yakni penuh dengan
kesenjangan yang berjarak.
Hal ini terlihat mencolok pada level struktural dan
kultural sebagai dimensi pembeda dari anak yang berlatar ekonomi yang berbeda.
Secara kultural, tampilan dan bawaan Anak dari keluarga “miskin” tampak
inferior, dan anak yang surplus ekonomi terlihat superior. Sementara secara
struktural, fakta dari kelas sosial-ekonomi anak dapat terpotret melalui ukuran
fisiknya, seperti tinggi dan berat badan.
Pemerintah saat ini sepertinya masih menganggap
bahwa entitas kebijakan perlindungan anak masih belum menjadi agenda prioritas
nasional, hal ini terlihat dengan agenda pembangunan nasional yang memposisikan
anak menjadi nomor terbelakang, serta terlihat minimnya intervensi politik
anggaran yang diberikan dalam menggerakkan sistem perlindungan anak secara
menyeluruh. Saat ini, model penanganan perlindungan anak belum terkonsolidasi
dengan apik dan baik, dan inovasi kebijakan masih terlihat pola konvensional,
yakni instansi pemerintah yang menangani anak masih banyak terjebak dalam iklim
kerja pemenuhan citra dan mengejar kepuasan persepsi publik semata.
Pemerintah belum memiliki rencana aksi nasional
terkait dengan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif yang melibatkan
bayak sektor. Hal ini tampak pada “artifisialisasi” kebijakan dari
gugusan dan rumusan program yang membelah dimana-mana. Padahal kerangka
perlindungan anak secara nasional membutuhkan kerangka induk yang terintegrasi
dengan baik. Indikatornya adalah kualitas regulasi makin bermutu dan dapat
dirasakan manfaatnya tanpa diskrimnasi, respon dan tanggungjawab serta komitmen
pemangku kebijakan, yang tak kalah penting adalah dampak nyata di dalam
kehidupan sosial.
Saat ini, di level instrumentalisasi pelaksana
kebijakan, Kemeneg PP dan PA memang secara departemental paling
bertanggungjawab dalam kegiatan meningkatkan kualitas anak dari berbagai
ancaman dan tantangan. Untuk mengelola kebijakan yang begitu luas, departemen
ini tidak bisa menanggung sendirian dan menjadi seperti “monster raksasa”. Para
pejabatnya harus pintar melakukan inovasi program, terobosan aksi, dan pandai
dalam menganyam komunikasi lintas sektor. Paradigma inilah yang sekiranya dapat
dijadikan modal sebagai langkah awal membangun dan melindungi anak dari
berbagai aneka tipu muslihat modernisasi dan globalisasi.
Tanpa disadari, kini telah masuk perangkap dunia
yang terglobal. Universalitas tidak bisa dielakkan sebagai sunnatullah yang
harus diterima manusia. Termasuk dalam dunia anak, kita perlu mengkoreksi
muatan-muatan budaya dan perangkat lunak yang menghinggapi anak kita. Kenapa
kita harus begitu memperhatikan di ranah ini? Jawabannya sederhana saja.
Pertama, anak adalah aset bangsa yang harus diperhatikan kualitasnya. Kedua,
anak merupakan basis utama membentuk generasi dalam mempetakan daya kompetitif
sosial-politik bangsa sampai dimana. Ketiga, anak merupakan wajah dari sebuah
potret bangsa. Jika banyak anak yang kurang gizi, maka disitulah “negara”
terancam tidak menjalankan fungsinya, alias gagal. Jika anak suatu bangsa
cerdas dan sehat, disitulah negara berhasil mendesainnya.
Dalam ranah globalisasi, kini para aktor global
(bisa berbentuk korporasi, state, masyarakat sipil,) sudah ramai membidik anak
dijadikan sebagai objek industri bagi akumulasi ekonomi. Betapa tidak,
kini ruang pertarungan menjadikan anak sebagai komodiiti ekonomi mulai menjamur.
Di kelompok spekulan Production House (PH), anak sudah banyak ditempatkan
sebagai icon, baik sebagai magnet edukatif maupun yang hanya sifatnya
identitas pembentuk gaya. Dalam “Islam KTP” misalnya, peran anak sangat sentral
dan bisa berulang-ulang ditonjolkan. Hal yang sama juga dapat kita simak
beberapa aktor cilik yang sudah meluberi jagat dan menghiasi panggung jenaka
kita.
Karena itu, elemen-elemen seperti negara, pemerintah
dan masyarakat bisa bahu-membahu mencipta pola perlindungan anak yang programatik,
dan tak kalah dengan inovasi-inovasi para kelompok PH tadi. Hal ini
mengingatkan kita bersama, bahwa melindungi dan memproteksi anak dari hal-hal
dan perilaku yang tak kita hindari merupakan urusan “bersama”. Meski kita akui,
sebagian masyarakat masih mempersepsi bahwa kegiatan menumbuh-kembangkan anak
seolah merupakan beban orang tua, bahkan melingkup menjadi urusan privat kaum
perempuan saja.
Anak merupakan subyek pembangunan yang keberadaannya
harus diperhatikan, baik oleh negara, pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Di negara manapun, anak menjadi kiblat dari pemetaan atas konstuksi pembangunan
bangsa yang hendak dirancang. Karena itu, negara, pemerintah, dan masyarakat
bisa duduk satu meja mengimplementasikan Undang Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002, khususnya terkait dengan Penyelenggaraan Perlindungan di bidang
agama (Pasal 42,43), Kesehatan (Pasal 44,45,46,47), Pendidikan (Pasal 48-54),
dan Sosial (Pasal 55-58), serta perlindungan khusus (Pasal 59-64).
Dalam
rangka mengawal efektifitas implementasi, para pemangku kepentingan kebijakan
adalah motor utama sebagai penggerak perlindungan anak di Indonesia. Karena
anak adalah cerminan suatu derajat bangsa, maka maka departemen pemerintah
terkait dalam isu-isu penting memenuhi hak dasar anak perlu terlibat maksimal
dan mendalam. Tentu tidak hanya unsur departmentasi pemerintah, kelompok
masyarakat seperti LSM, Kelompok Usaha, dan Kalangan media bisa pro-aktif
menyuarakan tentang upaya melindungi dan menyayangi anak Indonesia dengan tanpa
membedakan latar agama, suku, etnis dan golongannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar